Rabu, 19 Maret 2014

Redupnya sang hantu laut

REDUPNYA SANG HANTU LAUT (KKO MARINIR)


Pada masa Orde Baru, sinar KKO yang sempat begitu cemerlang agak sedikit redup. Sayangnya, ini terjadi bukan karena kemunduran kualitas atau kegagalan dalam misi penugasan. Meredupnya KKO justru disebabkan hal eksternal: Politik. Gejolak politik yang terjadi pada masa-masa itu, melebar ke berbagai dimensi kehidupan, termasuk militer.  Tercatat, berbagai kesatuan dari berbagai angkatan pernah menjadi korban dari gonjang-ganjing politik pada masa-masa itu. Resimen Pelopor, misalnya, pasukan para komando asal Brimob ini barangkali merupakan pasukan yang menerima pukulan paling telak. Sementara itu, KKO meski menerima imbas dari gonjang-ganjing yang terjadi saat itu, namun nasibnya tidak begitu mengenaskan.  

Banyak kalangan berpendapat bahwa penyebab utama dari kemunduran KKO ini adalah kedekatan dengan Presiden Soekarno dan sangkut paut kesatuan ini dengan Gerakan 30 September. Namun, fakta di lapangan menunjukkan jika KKO justru merupakan pasukan yang memberi banyak bantuan pada masyarakat dan juga dalam penanggulangan G 30 S. Sekedar  contoh, KKO-lah yang mengantar Yohana Sunarti Nasution–istri Jendral A.H. Nasution–ke rumah sakit untuk mengobati putrinya Ade Irma Suryani Nasution.

Saat itu, tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, Yohana singgah ke markas KKO di Prapatan ketika hendak mengantarkan putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, yang terluka parah menuju RSPAD. Mengetahui ini, para perwira jaga di Markas KKO segera memberikan pengawalan pada Yohana dan putrinya. Sementara itu, mengetahui bahwa Nasution selamat dan tengah bersembunyi tidak jauh dari rumahnya, satu regu KKO pun berangkat menuju kediaman Nasution dengan menggunakan panser, untuk menjemput jenderal tersebut. Nasution segera keluar dari persembunyiannya ketika mengetahui kedatangan prajurit KKO.

Selain peristiwa tersebut di atas, para personel KIPAM KKO juga dipercaya melakukan pengangkatan jenazah para Jenderal AD dari sebuah sumur tua di Lubang Buaya –seperti yang kita ketahui bersama para jenderal korban penculikan ini  dibunuh lalu jasadnya dimasukkan ke sebuah sumur tua.[1]

Sementara itu, tudingan bahwa KKO terlibat dalam G30S rasa-rasanya kurang tepat. Ketika peristiwa tersebut terjadi, sebagian besar kekuatan KKO yang ada di Jakarta tengah ditugaskan ke perbatasan Malaysia dalam rangka Konfrontasi Dwikora–pasukan KKO yang ada di Jakarta adalah siswa-siswa KKO yang kebetulan tengah bersiap menghadiri HUT TNI 5 Oktober 1965.  Namun mengingat bahwa peristiwa yang terjadi pada masa-masa itu benar-benar pelik, maka tentu saja dibutuhkan upaya yang serius dan tekun untuk membeberkannya secara gamblang.

Dalam hal ini, apa yang terjadi pada KKO dan banyak kesatuan lain adalah sebuah akibat dari perseteruan politik yang tidak bisa diantisipasi sehingga melibatkan para prajurit yang justru seharusnya netral. Tarikan-tarikan politis seperti ini sangat berbahaya jika terjadi dalam tubuh militer. Dengan sumber daya yang mereka miliki, militer akan menjadi pihak yang sangat berbahaya jika terlibat dalam kegiatan dukung mendukung suatu aliran atau tokoh politik tertentu. Tugas militer yang paling utama adalah melindungi negara dan rakyatnya, begitu pula kesetiaan mereka harus diberikan kepada negara dan rakyat.

Namun sayangnya, di masa penuh perseteruan tersebut, militer tidak bisa lepas dari tarik menarik politis semacam itu. Maka, kemudian yang muncul adalah angkatan tertentu berpihak pada tokoh atau aliran politik tertentu, sementara angkatan lain muncul sebagai penentangnya. Inilah yang terjadi pada militer Indonesia, termasuk KKO.

Lazim dinyatakan, dan memang diakui sendiri oleh para tokohnya, bahwa KKO adalah kesatuan yang sangat dekat dan bahkan berpihak pada Soekarno. Di tubuh kesatuan ini terdapat banyak prajurit yang dengan terang-terang mengaku sebagai pendukung presiden pertama tersebut.   Bahkan, panglima KKO waktu itu, R. Hartono, dikenal memiliki hubungan sangat dekat dengan Soekarno. Namun ini, tidak berarti bahwa sang panglima terlibat atau bahkan menjadi dalang dari kekacauan yang terjadi pada tahun 1965. Tuduhan keterlibatan sang panglima dengan mendasarkan  pada ucapannya yang terkenal Putih kata Presiden Soekarno, putih pula kata KKO. Hitam kata Presiden Soekarno, hitam pula kata KKO” tampaknya adalah merupakan tafsiran yang berlebihan. Tampaknya, ucapan tersebut adalah metafora akan kesetiaan pada presiden, sebagai institusi bukan Soekarno secara personal, yang merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata seperti yang disebutkan dalam undang-undang kita.  
Pidato Mayor Jenderal Hartono Selaku Panglima KKO yang terkenal “Hitam komando Bung Karno, Hitam tindakan KKO dan Putih komando Bung Karno Putih tindakan KKO” pada HUT KKO 15 November 1965. Sumber gambar :www.sukarnoyears.net/hartono/200mil.htm.

Kekacauan politik dan kejadian berdarah di seputar tahun 1965 tampaknya membuat orang tidak bisa secara jernih menafsirkan loyalitas KKO. Dukungan kepada panglima tertinggi angkatan bersenjata yang ditunjukkan oleh KKO secara semena-mena dipelintir menjadi dukungan terhadap Soekarno sebagai individu. Ini mengakibatkan berbagai pretensi negatif mengarah kepada kesatuan satu ini.  

Kesalahan penafsiran ini semakin diperparah dengan adanya kecenderungan untuk mengaburkan makna antara para pendukung PKI dan pendukung Soekarno. Ada upaya-upaya tertentu yang menjadikan kedua hal yang sangat jelas berbeda itu menjadi sama. Alhasil, ini berakibat sangat tidak nyaman bagi para pecinta Soekarno karena kemudian diidentikkan sebagai pendukung PKI.

Kekacauan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa. Bahkan, petinggi TNI AL sendiri pun tidak luput dari kekeliruan semacam itu. Laksamana Soedomo, misalnya, pernah menyatakan bahwa di tubuh Angkatan Laut banyak sekali yang terlibat G 30 S. Dalam hal ini, Soedomo tidak bisa  membedakan mana orang yang terpengaruh dan mendukung pemikiran PKI dan mana yang mendukung Soekarno sebagai pemimpin Besar Revolusi. Sudomo menganggapnya sama.

Suatu kali, dalam sebuah percakapan tentang PKI, Soedomo berkata berkata pada Soemitro yang saat itu menjabat sebagai Pangkopkamtib. “Wah Mit, banyak sekali yang terlibat di dalam Angkatan Laut.” Lalu Soemitro menjawab, “Dom, kalau kau bersihkan semuanya, habis Angkatan Laut.” Sumitro lalu mengambil kebijakan yang intinya tetap mendukung Orde Baru dengan cara yang lebih jernih. Seperti yang dikatakannya:

Saya mengambil kebijakan untuk melakukan pemisahan. Yaitu memisahkan antara yang benar-benar PKI dan yang mendukung Bung Karno saja. PKI tidak bisa kita ampuni. Mereka harus keluar dari Angkatan Bersenjata dan departemen-departemen. Tetapi pendukung Bung Karno kita saring, ada yang tetap bisa dipakai di tempat asal, ada yang dipindahkan, dan yang membangkang tentu ditindak.”[2]
            Dalam hal ini, pembersihan tidak hanya dilakukan di tubuh AL dan AU saja. Tokoh Angkatan Darat juga tidak luput dari kebijakan ini. Mayor Jenderal Suadi, misalnya, adalah salah satu pati Angkatan Darat yang menjadi korban. Saat itu, tidak lama setelah G 30 S terjadi, Suadi yang kala itu menjadi Duta Besar RI di Etiopia, mengirimkan pesan kawat ke seluruh Kedutaan Besar RI di seluruh dunia–himbauan untuk jangan terlalu cepat menyalahkan siapa pun atas peristiwa yang baru saja terjadi. Maksudnya, untuk menghindari fitnah dan tidak memperkeruh keadaan. Namun,  karena isu ini sangat sensitif, akhirnya Suadi malah kena fitnah. Dia dianggap menjadi bagian dari gerakan, padahal Suadi berada jauh dari Jakarta. Suadi dianggap menciptakan keragu-raguan banyak pihak yang bersangkutan dengan kejadian G 30 S. Suadi, juga yang lainnya dituntut untuk beranggapan bahwa G 30 S adalah bagian strategi PKI–yang katanya akan merebut kekuasaan.[3] 

Kisah Suhario Padmodiwiryo lain lagi. Lelaki yang biasa dijuluki Hario Kecik ini menjadi Pangdam Mulawarman saat konfrontasi dengan Malaysia didengungkan. Ketika Presiden Soekarno jatuh, ia pun ikut jatuh dan dituduh berhaluan kiri. Sialnya, ketika G 30 S pecah, ia tengah berada di Moskow untuk melanjutkan studi di Sekolah Militer di Suworov. Ia pun dicekal. Pada tahun 1977, ia kembali ke Indonesia, namun begitu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma ia langsung ditahan di Rutan Militer selama empat tahun tanpa pernah mengalami proses pengadilan. “Ini memang metode Soeharto,” ungkapnya.

Semua orang yang diduga kiri dia (Soeharto) tangkapi semua. Zonder proses. Berapa ribu sudah orang yang mengalami hal ini tanpa melalui pengadilan? Soeharto bersikap ganda sejak dulu. Double standard sudah jadi wataknya. Semua orang yang tidak pro ke dia, atau tidak dia butuhkan, digasak.”[4]
Tahun 1968, Hartono selaku Komandan Jenderal KKO diberhentikan secara halus. Secara mengejutkan Hartono dijadikan Duta Besar (Dubes) di Pyongyang, Korea Utara. Namun, Hartono tidak lama menjadi Dubes RI untuk Korea Utara di Pyongyang–menggantikan Ahem Erningpraja. Dia dipanggil pulang lalu terdengar kabar dia bunuh diri. Santer terdengar isu yang mengatakan bahwa bekas Komandan Jenderal KKO itu sengaja dibunuh.[5] Sebelum Hartono meninggal, pihak intelijen (orde baru) menyatakan Hartono terlibat G 30 S. Lantas intelijie membuat laporan dan ketika laporan sedang disusum, Hartono dipanggil Soemitro, kebetulan Hartono sedang berada di Jakarta. Menurut Soemitro, Hartono merasakan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan pemanggilan itu.[6]


 Mayor Jenderal KKO Hartono, Panglima KKO yang setia kepada Presiden Republik Indonesia sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Sumber gambar : www.sukarno-years.net/hartono/200mil.htm.

Kematian Hartono tergolong misterius dan kurang terekspos. Menurut sumber pemerintah, kematian Hartono akibat bunuh diri. Ironisnya, beberapa pejabat Angkatan Laut seperti Letnan Jenderal Ali Sadikin dan Laksamana Madya Rachmat Sungkar membantah keras bila Hartono bunuh diri. Korban ditemukan oleh ibu kandungnya dalam keadaan berlumuran darah di lantai kamarnya karena tembakan peluru di bagian belakang kepala. Pistol–yang menurut pemerintah digunakan untuk bunuh diri–ditemukan tergeletak di dekat korban. Otopsi yang dilakukan di RSAD Gatot Subroto, dan bukan di RS Cipto Mangunkusumo atau di RSAL, memberi kesan bahwa kasus ini direkayasa dan ditutupi pemerintah. Akhirnya, Hartono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 7 Januari 1971.[7]

Hartono dibunuh orang tidak dikenal yang mendatangi rumahnya ketika masih subuh. Menurut pemerintah pusat, seperti juga yang didukung oleh Laksamana Soedomo, Hartono bunuh diri karena diduga putus asa atas kegagalannya menjalankan tugas sebagai Dubes RI di Pyongyang, Korea Utara. Keheranan Ali Sadikin dan Rachmat Sungkar semakin bertambah. Mereka tahu bahwa Hartono tidak divisum oleh dokter dari RSAL atau RS Cipto Mangunkusumo yang terkenal netral. Menurut dua perwira tinggi Angkatan Laut itu, Hartono bukan tipe manusia yang mudah putus asa lalu bunuh diri hanya karena tugasnya gagal sebagai duta besar. 

Selain secara personal, pembersihan dan penyingkiran juga dilakukan terhadap Batalion Infanteri 454 Srondol Diponegoro dan Batalion 530 Brawijaya. Tindakan hanya diambil untuk perwira operasional lapangan saja, sementara prajurit bawahan tentunya tidak mengerti apa-apa soal G 30 S –mereka hanya turut perintah komandan, begitu logika seorang prajurit.

Selama masa pembersihan ini, lebih dari puluhan perwira, ratusan prajurit, serta ribuan rakyat yang tidak tahu menahu tentang G 30 S harus menanggung akibatnya: Disingkirkan dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang layak. Belum lagi korban yang tidak diketahui oleh umum, mungkin jumlahnya lebih banyak. Dan, pasukan-pasukan militer yang hanya mengikuti jalur komando, akan dijadikan “alat yang tak memiliki kehendak” jika seorang yang ambisius menarik-narik mereka ke dalam lingkaran politik. Bahkan tidak jarang antar kesatuan pasukan komando digunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu yang saling berseberangan, yang berbuntut adanya keterlibatan pasukan khusus untuk mengalahkan lawan politiknya. Peristiwa Kranji pada tahun 1956 yang gagal ketika terjadi konflik internal AD menunjukkan hal tersebut.

Hal lain yang merupakan efek buruk dari penyeretan militer untuk mendukung tokoh atau aliran politik tertentu adalah adu domba dan perpecahan. Ini tentu saja sangat merugikan militer karena selain persatuan tidak solid, kekuatan militer pun menjadi sangat berkurang. Sementara negara dan rakyat, sebagai dua elemen yang seharusnya dilayani oleh militer, menjadi terlantar, dan bahkan turut menjadi korban.  

Akibat berbagai isu, perselisihan yang terjadi antar kesatuan semakin melebar, dalam hal ini pertentangan yang terkenal adalah antara KKO dan prajurit-prajurit AD. M. Yasin–waktu itu adalah Panglima Kodam Brawijaya– pernah menerima pertentangan dan cacian dari sekelompok prajurit KKO. Ini tentu sangat tidak menyenangkan bagi Yasin yang harusnya disegani karena kedudukannya sebagai panglima. Yasin, yang juga salah membedakan antara  pro Soekarno dan PKI, menjadi sensitif terhadap ulah para prajurit tersebut. Suasana Jawa Timur memanas. AD berseteru dengan KKO. Yasin mengaku,
Bahwa pernah terjadi pada pertengahan tahun 1967, saya dihina oleh pasukan KKO. Waktu itu beberapa truk membawa mayat seorang PNI-ASU dengan dikawal beberapa prajurit KKO yang melewati depan rumah saya. Mereka meneriakkan yel-yel “Panglima Jenderal Yasin Tahi! Panglima Jenderal Yasin Tahi!”. Saya mendengar teriakan tersebut, lalu keluar. Pasukan pengawal yang berusaha bertindak saya cegah. Komandan Korem saya, Acub Zainal yang mendengar berita (itu) juga sangat marah dan tak bisa menerima panglimanya dihina. Ia menghadapinya dengan berpijak pada sumpah prajurit. Saya mencegah tindakan Acub, dan saya katakan bahwa besok saya akan mengundang semua Panglima AL dan Panglima KKO yang ada di Surabaya.

Saya langsung mengambil kebijakan, pada pertemuan esoknya yang dihadiri oleh Panglima AL, Panglima Armada, Komandan AL dan KKO. Saya katakan bahwa kemarin telah terjadi penghinaan terhadap Panglima Brawijaya. Saya peringatkan dengan keras kepada mereka, jika itu terjadi lagi semuanya akan saya serahkan pada Komandan Brigade dan Komandan Korem saya untuk bertindak, dan pasti akan terjadi perang saudara. Akhirnya mereka minta maaf dan tidak akan terulang lagi.

Ketika saya bermain golf di Gunung Sari, yang letaknya dekat dengan Asrama KKO, saya selalu mendapat intimidasi dengan tembakan ke udara. Saya tetap tenang, tetapi di dalam golfbag selalu tersedia stengun otomatis. Saya yakin tembakan itu hanya untuk menakut-nakuti saya. Panglima KKO Hartono yang saya lapori kejadian tersebut, rupanya membela anak buahnya. Dengan berbagai kejadian-kejadian di atas, saya segera melaporkan ke Markas Besar AL Jakarta menemui Letnan Jenderal KKO Hartono. Saya katakan bahwa jika KKO tetap bertahan dengan keyakinan mereka, “Jika Bung Karno Hitam maka KKO hitam dan jika Bung Karno Putih maka KKO putih” maka akan terjadi perang saudara. Dulu KKO dekat dan akrab dengan Bung Karno. Bahkan mereka pernah berencana membawa Bung Karno untuk dibawa ke Markas mereka di Cilandak. Belakangan diketahui bahwa banyak orang KKO terlibat dalam rencana tersebut.”[8]
Kemudian perang dingin antara AD dengan KKO di Jawa Timur mulai mereda setelah Yasin membuat kesepakatan dengan Panglima Daerah Maritim V Laksamana Suyatno untuk memenangkan Orde Baru dan menghantam segala kekuatan yang mengembalikan kekuasaan Soekarno. Setelah KKO di Surabaya diatasi AD, maka organisasi pendukung Soekarno mulai dihantam di Surabaya.[9]

Salah paham dan kekeliruan ini terus berlanjut sehingga merugikan pihak-pihak yang dianggap sebagai seteru. Pada periode 1971-1980, misalnya, bertepatan dengan memanasnya suasana politik di Timor Timur, Korps Marinir kedudukan KKO AL diubah sebagai Badan Pelaksana Pusat tingkat Markas Besar TNI AL dengan sebutan PUSKKO AL. Hal ini disesuaikan RENSTRA HANKAM I tahun 1974-1978 bidang TNI AL. Ini berarti, struktur organisasi KKO atau Marinir disederhanakan.

Berikutnya, beberapa Batalion KKO di Jakarta dan Surabaya dilikuidasi. Batalion-batalion tersebut adalah Batalion 6, 8, dan 10 yang ada di wilayah barat (Jakarta) serta Batalion 7 dan 9 di wilayah timur (Surabaya). Anggota-anggota Batalion yang terkena likuidasi tersebut selanjutnya ditempatkan di batalion lain yang masih berdiri. Sebagian lagi ditempatkan di Depo Transit dan di lembaga-lembaga pemerintahan lainnya di wilayah barat dan timur.[10]
Sementara itu, prajurit KKO banyak yang dialihkan ke instansi lain seperti Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJ), salah satunya adalah DLLAJ Jakarta Raya.[11] Dinas ini begitu diperlukan oleh Kota Jakarta yang mulai mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Letnan Jenderal (Purn) KKO Ali Sadikin. Di masa itulah nama KKO berubah nama menjadi Korps Marinir. Nama yang pernah mereka pakai meski dalam ejaan yang berbeda.
Pada pertengahan dekade 1970, sebagai Komando Utama (Kotama) Fungsional TNI AL, Korps Marinir membentuk Komando Pelaksana (KOLAK) yang terdiri atas 2 Pasukan Marinir di Pasmar I di Jakarta dan Pasmar II di Surabaya, lima batalion infanteri (Marinir Infanteri atau Marif), 10 Batalion Senjata Bantuan (Yonsenban), satu kesatuan Marinir Latih (Marlat), satu kesatuan Marinir Keamanan Pangkalan (Markamlan), dan dua Marinir Administrasi Logistik (Marminlog) di Jakarta dan Surabaya.

Tanggal 1 Januari 1979, sesuai Renstra Hankam III 1979-1983, Marinir memiliki kekuatan dua resimen yang berada di Jakarta dan Surabaya. Masing-masing resimen terdiri atas 3 batalion infanteri: Satu resimen bantuan tempur (Menbanpur) yang terdiri dari 5 batalion bantuan tempur dan satu Resimen Bantuan Administrasi yang terdiri dari lima batalion bantuan administrasi (Yonbanmin), serta satu resimen latih dan dua depo administrasi logistik (Dominlog) masing-masing di Jakarta dan Surabaya.[12]

Pada masa Orde Baru ini, orientasi pengembangan pertahanan yang lebih mengutamakan pengembangan pertahanan darat, seolah menjadikan Marinir sebagai anak tiri. Dari perubahan struktur, dapat dilihat jumlah batalion satuan infanteri Marinir berkurang drastis. Sebenarnya, ini sangat ironis mengingat Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang membutuhkan kekuatan laut handal.

Selain dipangkas secara struktural, perlengkapan dan persenjataan Marinir pun banyak berkurang tidak seperti pada masa sebelumnya. Persenjataan-persenjataan tua tidak diganti dengan yang lebih baik sehingga Marinir atau Angkatan Laut tidak bisa bekerja secara optimal. Padahal dibutuhkan, sumber daya besar untuk menjaga seluruh kekayaan bangsa ini yang berada di lautan, yang lebih penting dengan armada yang laut yang kuat, bangsa ini dapat mendirikan kedaulatannya atas negara lain.   


referensi
[1] Junaedi dkk, op. cit.,  hlm. 256-258.
[2] Ramadhan K.H, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 1994, hlm. 228.
[3] Ibid., hlm. 238-239.
[4]  Wawancara wartawan Tempo, Dwi Arjanto & Robin Ong, dalam Tahun Depan Dwi Fungsi TNI Sudah Dihapus, Majalah Tempo Online, 27 Desember 1999.
[5] Asvi Warman Adam, op. cit., hlm. 243-244.
[6] Ramadhan K.H, op. cit., hlm. 239.
[7] Pembunuhan Letjen (KKO) Hartono http://petromaks.wordpress.com/2006/02/page/2/  Diakses 16 September 2007 pukul 16.40.
[8] Nurinwa Hendrowinoto (penyunting), M. Yasin. Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto (Sebuah Memoar), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm  68-69.
[9] Ibid., hlm. 69-70.
[10] Junaedi dkk, op. cit., hlm. 266-268.
[11] Pengakuan Hario Prasetyo (Tangerang, 17 April 2010)
[12] Junaedi dkk, op. cit.,  hlm. 266-268.

di unggah dari buku "Hantu Laut KKO Marinir Indonesia"

Presiden Soekarno tidak tahu sama sekali peristiwa penculikan 1 Oktober 1965

Kolonel CPM Maulwi Saelan baru saja
menunaikan shalat Shubuh ketika telepon
rumahnya berdering. Pagi itu 1 Oktober 1965
sekitar pukul 05.10, Kombespol Sumirat
mengabarkan kepadanya soal informasi
penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II,
Leimena dan rumah Menhankam/Kasab, Jenderal
A.H. Nasution.
Sumirat meminta Saelan mengecek kebenaran
informasi yang didapatnya dari intel Komdak
Jaya (Polda Metro Jaya) Kombespol. Anwas.
“Baiklah nanti saya cek,” kata Saelan kepada
Sumirat.
Selang 20 menit yakni pukul 05.30 Sumirat
kembali menelpon. Dia mengabarkan
penembakan juga terjadi di rumah Menteri
Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani dan
Jendral D I Pandjaitan. Tapi tak lama setelah
telepon ditutup Sumirat kembali mengontak. Dia
mengatakan tidak ada penembakan di rumah
Omar Dhani, namun ada banyak pasukan tidak
dikenal yang berjaga di sekitar Istana Merdeka.
“Baiklah saya akan mengecek lagi dan saya
segera mencari bapak,” ujar Saelan.
Pukul 05.45 Kapten Inf. Suwarno, Komandan
Kompi I Yon IKK Resimen Cakrabirawa datang ke
rumah Saelan mencari Bung Karno.
“Bapak di mana?” kata Suwarno. Mendengar
pertanyaan Suwarno Saelan terkejut. Pasalnya
tadi malam dia sendiri yang mengantar Bung
Karno ke Istana Merdeka usai menghadiri acara
Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di
Gelora Bung Karno.
“Apakah bapak tidak di istana?” Saelan bertanya
balik.
“Tidak ada.”
“Baiklah, kita cari bapak,” pungkas Saelan.
Pengalaman bertahun-tahun mengawal Bung
Karno membuat Saelan mengerti kebiasaan Bung
Karno. Menurutnya bila Bung Karno tidak ada di
istana maka kemungkinan besar Bung Karno
bermalam di rumah Ratna Sari Dewi di Wisma
Yaso atau di rumah Haryati di Grogol. Saelan
memutuskan pergi ke Grogol. Sesampainya di
sana ternyata Bung Karno tidak ada. Cepat-
cepat dia meninggalkan rumah Haryati menuju
Wisma Yaso.
Baru sampai di jalan besar Saelan melihat
kendaraan jip Detasemen Kawal Pribadi (DKP)
Resimen Cakrabirawa yang dilengkapi pesawat
Lorenz (radio transmitter). Dia langsung
mengontak Komandan DKP Cakrabirawa Kompol.
Mangil yang selalu bertugas menjaga Bung
Karno. Dari Mangil Saelan tahu bahwa Bung
Karno sedang mendekati air mancur di Jalan
Budi Kemulian menuju Istana Merdeka. Saelan
langsung mencegah. Dia mengingatkan ada
pasukan tidak dikenal di sekitar istana dan
meminta iring-iringan presiden berbalik arah
menuju Grogol.
“Saya menunggu di sana,” kata Saelan.
Sekitar pukul 07.00, Bung Karno bersama
pengawal tiba di Grogol. Saelan segera
melaporkan informasi yang dia terima dari
Kombespol Sumirat. Mendengar ada penembakan
di rumah para jendral Bung Karno terkejut.
“Wah Ik ben overrompeld. Wat wil je met me
doen? (Apa yang kamu mau aku lakukan?),”
tanya Bung Karno sambil terperangah
“Sementara kita di sini dahulu pak. Kami segera
mencari keterangan dan kontak dengan Panglima
Angkatan dan Kodam Jaya, serta menanyakan
situasinya,” jawab Saelan.
“Tapi kita tidak bisa lama di sini,” sanggah Bung
Karno.
“Memang betul pak. Sebagai alternatif kami akan
mencari tempat lain,” kata Saelan.
Dari hasil diskusi dengan Mangil dan Letnan
Kolonel (tituler) Suparto (sopir Bung Karno),
disepakati Bung Karno akan dibawa ke rumah
kenalan Mangil di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru.
Saelan memerintahkan anggota DKP menyiapkan
kedatangan Bung Karno (sterilisasi area) dan
memerintahkan Suparto mengontak Panglima
Kodam Jawa dan Panglima Angkatan Bersenjata
untuk mencari informasi apa yang sesungguhnya
terjadi.
Sekitar pukul 08.30 Suparto datang membawa
laporan. Dia mengatakan telah mengontak
Panglima AURI, Omar Dhani yang sedang berada
di Halim Perdanakusuma. Menurutnya di sana
sudah ada pesawat Jetstar yang siap digunakan
Bung Karno. Kabar Suparto langsung dilaporkan
Saelan kepada Bung Karno.
Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Halim
Perdanakusuma. Sekitar pukul 09.00 Bung Karno
dan rombongan berangkat menuju Halim
Perdanakusuma dan tiba di lokasi setengah jam
kemudian. Di Markas Komando Operasi (Koops)
Halim Perdanakusuma telah menunggu Omar
Dani dan Leo Watimena. Di ruangan Koops, Omar
Dani melaporkan situasi yang terjadi.
Sekitar pukul 10.00 Wakil Komandan Gerakan 30
September (G30S) Brigadir Jendral Supardjo tiba
di Koops Halim Perdanakusuma. Dia meminta
Bung Karno mendukung aksi penculikan dan
penembakan terhadap sejumlah jendral yang
dilakukan tadi malam. Bung Karno menolak.
Dengan tegas dia meminta Supardjo
menghentikan aksi.
“Ketika Brigjen Supardjo meninggalkan Koops
wajahnya lesu dan tampak kecewa sekali,”
kenang Saelan.
Saelan menjelaskan fakta penting bahwa Bung
Karno tidaklah mengetahui gerakan penculikan
jendral yang dilakukan Letkol Untung Samsoeri.
Hal ini misalnya terlihat dari pernyataan spontan
yang disampaikan Bung Karno ketika mendengar
kabar penculikan jendral dari Saelan.
“Bung Karno terkejut dan spontan mengatakan Ik
ben overrompeld,” kata Saelan. Menurut Saelan
jika Bung Karno telah mengetahui operasi G30S
Untung Cs, maka reaksi yang dikeluarkan Bung
Karno tidak mungkin seperti itu.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah
kedatangan Bung Karno ke Halim Perdana
Kusuma. Dari penjelasan Saelan terungkap
bahwa kedatangan Bung Karno ke Halim tidak
pernah direncanakan. Pilihan itu murni karena
pertimbangan keselamatan lantaran di Halim
terdapat pesawat Jetstar yang bisa membawa
presiden kemana saja apabila terjadi hal-hal tak
diinginkan.
Dengan demikian, spekulasi tentang kerja sama
antara Bung Karno dan pelaku G30S yang
bermarkas di sekitar Halim telah terbantahkan.
Hal ini dipertegas dengan sikap Bung Karno yang
meminta Supardjo selaku wakil komandan
gerakan G30S menghentikan aksinya.
“Yang benar, Presiden Soekarno tidak tahu sama
sekali peristiwa penculikan 1 Oktober 1965
subuh. Justru Presiden RI baru tahu adanya
persitiwa tersebut setelah kami cegat dalam
perjalanan menuju Istana Merdeka dari Slipi dan
saat itu dia terperangah,” kata Saelan.

Rabu, 09 Oktober 2013

ERWIN ROMMEL



Erwin Rommel

 

Erwin Johannes Eugen Rommel (lahir 15 November 1891 – meninggal 14 Oktober 1944 pada umur 52 tahun) adalah seorang komandan pasukan Jerman pada era Perang Dunia II. Perdana Menteri Britania Raya Sir Winston Churchill, yang waktu itu adalah musuh bebuyutan Jerman, pernah terang-terangan memberikan salut kepada jenderal jenius ini di Parlemen. Pada akhir hayatnya ketika ditanya mengapa dia memuji musuh, Churchil mengatakan "Saya tidak menyesal memuji Rommel".
Masa muda
Erwin Rommel dilahirkan di Heidenheim, sekitar 50 km dari kota Ulm, di negara bagian Württemberg, Jerman bagian selatan. Anak kedua seorang kepala sekolah menengah di Aalen ini pada usia 14 tahun bersama teman-teman membuat sebuah pesawat layang (glider) yang berhasil terbang, meski tidak jauh. Rommel muda ingin belajar teknik, namun ayahnya tidak menyetujuinya dan menyuruhnya bergabung dengan Resimen Infantri ke-24 Württemberg sebagai kadet pada 1910 dan segera dikirim ke Sekolah Kadet Militer di Danzig.
Pada 1911, kadet Rommel berkenalan dengan Lucie Maria Mollin, yang kemudian dinikahinya pada 1916. Pada November 1911, Rommel menyelesaikan pendidikannya dan mendapat pangkat Letnan di Wehrmacht/Angkatan Darat Jerman pada Januari 1912.
Perang Dunia I
Saat pecah Perang Dunia I tahun 1914, Rommel tergabung dengan pasukan elit Alpen Korps dengan pangkat letnan dan bertugas di front barat: Perancis dan Rumania. Terluka sebanyak tiga kali, Rommel mendapat anugerah bintang jasa Iron Cross kelas satu dan kelas dua pada Januari 1915.
Pada 1917 Rommel bertugas di front Italia, dan usai memimpin penyerangan Monte Matajur dipromosikan sebagai kapten. Segera sesudahnya, Rommel dan sekelompok kecil anak buahnya merenangi Sungai Piave untuk merebut garnisun pasukan Italia di Lognaroni. Pertempuran ini menyebabkan dirinya dianugrahi bintang jasa tertinggi di Angkatan Perang Jerman, yaitu Pour le Mérite, bintang jasa yang biasanya diberikan hanya pada para jenderal. Pasukannya juga memainkan peranan penting dalam pertempuran di Caporetto, kunci kemenangan Jerman atas Angkatan Darat Italia.
Menjelang Perang Dunia II
Usai perang, Rommel tetap berdinas di Wehrmacht dan pada 1929 diangkat menjadi instruktur di Sekolah Infantri di Dresden. Pada Oktober 1935 dia naik pangkat menjadi letnan kolonel dan mulai mengajar di Akademi Militer Potsdam.
Sebagai guru yang luar biasa, bahan-bahan kuliah Rommel yang bersumber dari buku hariannya selama Perang Dunia I diterbitkan sebagai buku taktik-taktik infantri (Infanterie greift an) pada 1937. Buku ini dibaca oleh Adolf Hitler yang saking terkesannya menugaskan Rommel melatih Hitler Jügend pada tahun itu. Pada tahun 1938, Rommel, yang sudah berpangkat kolonel, ditunjuk sebagai komandan Akademi Perang di Wiener Neustadt. Di sekolah itu, dia menulis buku lanjutan bukunya yang pertama (Infantry Attacks), yaitu Panzer greift an (Tank Attacks, sering diterjemahkan sebagai Tank in Attacks). Dia dipindahkan tak lama kemudian dan ditempatkan dalam batalyon pengawal pribadi Adolf Hitler (Führer-Begleitbattalion).
Perang Dunia II
Pada musim gugur 1938, Hitler menunjuk Rommel untuk memimpin unit Wehrmacht yang bertugas melindungi kunjungannya ke Cekoslowakia yang baru saja dianeksasi Jerman. Menjelang invasi ke Polandia, Rommel dipromosikan sebagai Mayor Jenderal dan Komandan Führer-Begleitbattalion yang bertanggungjawab atas pengamanan markas besar bergerak Hitler selama invasi.
Perancis 1940
Tiga bulan setelah invasi Polandia, Rommel mendapat perintah mengomandoi Divisi Panzer ke-7 yang menginvasi Perancis pada Operasi Fall Gelb, Mei 1940. Pasukannya bergerak maju lebih cepat dan lebih jauh dari pasukan-pasukan lain dalam sejarah militer dunia dan mendapat julukan Gespenster-Division (Divisi Hantu), saking sulitnya dideteksi keberadaannya bahkan oleh markas besar Wehrmacht.
Divisi Panzer ke-7 merupakan unit pasukan Jerman pertama yang mencapai Selat Inggris pada 10 Juni 1940, Lalu dia memutar ke selatan, merebut pelabuhan penting Cherbourg pada 19 Juni, dan melaju sepanjang pesisir Perancis hingga mencapai perbatasan Spanyol.
Selama pertempuran di Perancis tersebut, ia tidak henti-hentinya mengalami keberhasilan. Salah satunya pada pertempuran di Arras. Rommel memang seorang yang tahan banting. Pada fase pertama pertempuran ini, Divisi Panzer ke-7 berhasil dipukul mundur oleh tentara Sekutu pimpinan Mayjen Harold Franklyn, tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Setelah ia berhasil mengumpulkan kekuatan kembali, akhirnya ia berhasil mengalahkan tentara sekutu pada fase kedua pertempuran.
Afrika Utara 1941-1943
Sebagai penghargaan, Rommel dipromosikan menjadi Jenderal dan panglima dari 2 divisi AD Jerman yaitu Divisi Ringan ke-5 (kemudian direorganisir dan redesain sebagai Divisi Panzer ke-21) dan Divisi Panzer ke-15, yang dikirim ke Libya pada awal 1941 untuk menolong pasukan Italia yang menderita kekalahan besar di front Afrika Utara. Pasukannya inilah cikal bakal terbentuknya Deutsches Afrika Korps. Pasukan barunya ini berhasil memukul mundur Tentara ke-8 Inggris (British 8th Army) keluar dari Tobruk di Libya. Pasukannya merangsek terus ke Mesir tapi berhasil dipatahkan di 'Alamain. Begitu tentara Amerika Serikat mendarat di Maroko dan Aljazair, pasukannya ditarik mundur meninggalkan Tunisia. Kiprahnya di medan pertempuran di padang pasir Afrika Utara itu membuatnya dijuluki "Rubah Padang Pasir" ("The Desert Fox")
Kejeniusannya dalam taktik perang infantri, didukung kecanggihan teknologi panser Jerman dan kedisiplinan pasukannya yang tinggi membuat Jerman unggul. Sayang sekali, kesuksesan ini tidak terlalu mendapat tanggapan serius dari Reichführer Hitler. Kurangnya pasokan logistik, amunisi dan bahan bakar dikarenakan perhatian Hitler ke front Rusia dan upaya menyerbu Inggris serta adanya blokade Angkatan Laut Inggris di Laut Tengah menyebabkan pasukan Afrika Korps tidak mampu melanjutkan pertempuran dan terus mengalami kekalahan.
Benteng Atlantik 1943-1944
Rommel yang terserang infeksi saluran pernapasan ditarik pulang ke Jerman. Ada dugaan kekalahannya di El Alamein dan penarikan mundur pasukannya dari Thubruq membuat Hitler berang. Kembali ke Jerman, Rommel sempat menganggur. Akan tetapi saat serangan Sekutu makin gencar, Rommel ditunjuk sebagai Panglima Grup B Wehrmacht, yang bertugas mempertahankan pantai Perancis dari kemungkinan invasi Sekutu. Di bawah komandonya termasuk barisan pertahanan Benteng Atlantik (Atlantic Wall) yang akhirnya tidak mampu menahan invasi Sekutu pada 6 Juni 1944.
Plot Anti-Hitler

Pada 17 Juli 1944, dalam perjalanan pulang dari front, mobil Rommel diberondong pesawat Spitfire Angkatan Udara Kanada. Rommel terluka parah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Pada saat yang sama, terbongkarlah konspirasi politik yang ingin menghabisi Hitler (Plot 20 Juli). Keterlibatan beberapa orang dekatnya menyebabkan Rommel dicurigai terlibat dalam upaya kudeta tersebut. Mengingat popularitas Rommel di mata rakyat Jerman, Hitler memberinya pilihan: bunuh diri dengan menenggak sianida atau mengaku di depan pengadilan rakyat (Volksgerichtshof). Rommel memilih mengakhiri hidupnya dengan sianida pada 14 Oktober 1944 dan dimakamkan secara kebesaran militer.
Setelah usai perang, istrinya menyatakan bahwa Rommel menentang plot tersebut karena ingin menghindari anggapan generasi penerus Jerman bahwa Jerman kalah di Perang Dunia II karena Hitler ditikam dari belakang, sebagaimana halnya yang terjadi pasca Perang Dunia ke-1 manakala sebagian besar anggota Wehrmacht tidak mau menyerah begitu saja kepada Sekutu. Rommel mengusulkan kepada kelompok Plot 20 Juli untuk menangkap Hitler dan menyeretnya ke pengadilan rakyat. Sayangnya plot tersebut terbongkar lebih dahulu sebelum dilaksanakan.
Buku harian Rommel lantas diterbitkan dengan judul The Rommel's Papers. Dan pada tahun 1951, sebuah perusahaan film Inggris memproduksi film berjudul The Desert Fox. Meski sebagian besar tokoh Nazi mendapat caci-maki dan dihukum oleh Sekutu, Rommel tetap dikenang kebesarannya dan sampai saat ini merupakan satu-satunya tokoh Reich Ketiga yang memiliki museum mengenang dirinya dan kariernya.

Senin, 03 Juni 2013

PERJUANGAN BANGSA INDONESIA MEREBUT IRIAN BARAT/PAPUA



Apakah Irian Barat termasuk wilayah Indonesia ?
Jawabannya adalah ya!
Karena apabila ditinjau dari segi politis, bahwa berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) di sepakati bahwa ”Indonesia” adalah bekas Hindia Belanda. Sedangkan Irian Barat walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda.
Apabila ditinjau dari segi antropologi, bahwa bangsa Indonesia yang asli adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang mempunyai ciri-ciri: kulit hitam, rambut keriting (ras austromelanesoid) yang merupakan ciri ciri suku bangsa Aborigin (Australia) dan ras negroid (Papua).
Apabila ditinjau dari segi sejarah , bahwa Konferensi Meja Bundar yang dilakukan untuk mengatur penyerahan kedaulatan Indonesia diwarnai dengan usaha licik Belanda yang ingin terus mempertahankan Irian Barat (New Guinea) dengan alasan kesukuan. Akhirnya KMB memutuskan penyelesaian Irian Barat akan ditentukan dalam masa satu tahun setelah penyerahan kedaulatan melalui perundingan antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Benarkah alasan Belanda mempertahankan Irian Barat karena masalah kesukuan ?Ternyata bukan !
Alasan sebenarnya adalah bahwa pada saat itu Belanda sedang mengadakan eksplorasi / penelitian sumber daya alam di Irian dan berhasil menemukan fakta bahwa di Irian Barat terdapat tambang emas dan uranium terbesar di dunia (sekarang dinamakan Freeport yang merupakan perusahaan asing milik Belanda ) yang tidak akan habis di gali selama 100 tahun.
Belanda tetap mempertahankan Irian Barat sebagai jajahannya, dan memasukan wilayah Irian Barat ke dalam Konstitusi nya pada tanggal 19 Pebruari 1952. Dengan demikian Belanda sendiri telah melanggar isi Round Table Conference yang telah disepakati dengan RIS.
2. Perjuangan diplomasi;pendekatan diplomasi
a. Perundingan Bilateral Indonesia Belanda
Pada tanggal 24 Maret 1950 diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri Uni Belanda - Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk suatu komisi yang anggotanya wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyelidiki masalah Irian Barat. Hasil kerja Komisi ini harus dilaporkan dalam Konferensi Tingkat Menteri II di Den Haag pada bulan Desember 1950. Ternyata pembicaraan dalam tingkat ini tidak menghasilkan penyelesaian masalah Irian Barat.


Pertemuan Bilateral Indonesia Belanda berturut-turut diadakan pada tahun 1952 dan 1954, namun hasilnya tetap sama, yaitu Belanda enggan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai hasil KMB.
b. Melalui Forum PBB
Setelah perundingan bilateral yang dilaksanakan pada tahun 1950, 1952 dan 1954 mengalami kegagalan, Indonesia berupaya mengajukan masalah Irian Barat dalam forum PBB. Sidang Umum PBB yang pertama kali membahas masalah Irian Barat dilaksanakan tanggal 10 Desember 1954. Sidang ini gagal untuk mendapatkan 2/3 suara dukungan yang diperlukan untuk mendesak Belanda.
Indonesia secara bertrurut turut mengajukan lagi sengketa Irian Barat dalam Majelis Umum X tahun 1955, Majelis Umum XI tahun 1956, dan Majelis Umum XII tahun 1957. Tetapi hasil pemungutan suara yang diperoleh tidak dapat memperoleh 2/3 suara yang diperlukan.
c. Dukungan Negara Negara Asia Afrika (KAA)
Gagal melalui cara bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi secara regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh 29 negara-negara di kawasan Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI.
Namun suara bangsa-bangsa Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB.
3. Perjuangan dengan konfrontasi politik dan ekonomi
Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat baik secara bilateral, Forum PBB dan dukungan Asia Afrika, membuat pemerintah RI menempuh jalan lain pengembalian Irian Barat, yaitu jalur konfrontasi. Berikut ini adalah upaya Indonesia mengembalikan Irian melalui jalur konfrontasi, yang dilakukan secara bertahap.
a. Pembatalan Uni Indonesia Belanda
Setelah menempuh jalur diplomasi sejak tahun 1950, 1952 dan 1954, serta melalui forum PBB tahun 1954 gagal untuk mengembalikan Irian Barat kedalam pangkuan RI, pemerintah RI mulai bertindak tegas dengan tidak lagi mengakui Uni Belanda Indonesia yang dibentuk berdasarkan KMB. Ini berarti bahwa pembatalan Uni Belanda Indonesia secara sepihak oleh pemerintah RI berarti juga merupakan bentuk pembatalan terhadap isi KMB. Tindakan pemerintah RI ini juga didukung oleh kalangan masyarakat luas, partai-partai dan berbagai organisasi politik, yang menganggap bahwa kemerdekaan RI belum lengkap / sempurna selama Indonesia masih menjadi anggota UNI yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan hubungan Indonesia Belanda, berdasarkan perjanjian KMB. Pembatalan ini dilakukan dengan Undang Undang No. 13 tahun 1956 yang menyatakan, bahwa untuk selanjutnya hubungan Indonesia Belanda adalah hubungan yang lazim antara negara yang berdaulat penuh, berdasarkan hukum internasional. Sementara itu hubungan antara kedua negara semakin memburuk, karena :
1. terlibatnya orang-orang Belanda dalam berbagai pergolakan di Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS)
2. Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
b. Pembentukan Pemerintahan Sementara Propinsi Irian Barat di Soasiu (Maluku Utara)
Sesuai dengan Program Kerja Kabinet, Ali Sastroamidjojo membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Tidore). Pembentukan propinsi itu diresmikan tanggal 17 Agustus 1956. Propinsi ini meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patrani, serta Wasile di Maluku Utara.


c. Pemogokan Total Buruh Indonesia
Sepuluh tahun menempuh jalan damai, tidak menghasilkan apapun. Karena itu, pada tanggal 18 Nopember 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh tanah air. Dalam rapat umum yang diadakan hari itu, segera diikuti pemogokan total oleh buruh-buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Belanda pada tanggal 2 Desember 1957. Pada hari itu juga pemerintah RI mengeluarkan larangan bagi beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang mendarat dan terbang di seluruh wilayah Indonesia.
d. Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda
Pada tanggal 3 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konsuler Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan. Kemudian terjadi serentetan aksi pengambil alihan modal perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, yang semula dilakukan secara spontan oleh rakyat dan buruh yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda ini. Namun kemudian ditampung dan dilakukan secara teratur oleh pemerintah. Pengambilalihan modal perusahaan perusahaan milik Belanda tersebut oleh pemerintah kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958.
e. Pemutusan Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik Indonesia – Belanda bertambah tegang dan mencapai puncaknya ketika pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Dalam pidato Presiden yang berjudul ”Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit (Jarek)” pada peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 15, tanggal 17 Agustus 1960, presiden memaklumkanpemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Tindakan ini merupakan reaksi atas sikap Belanda yang dianggap tidak menghendaki penyelesaian secara damai pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Bahkan, menjelang bulan Agustus 1960, Belanda mengirimkan kapal induk ” Karel Doorman ke Irian melalui Jepang. Disamping meningkatkan armada lautnya, Belanda juga memperkuat armada udaranya dan angkutan darat nya di Irian Barat.
Karena itulah pemerintah RI mulai menyusun kekuatan bersenjatanya untuk mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan. Konfrontasi militer pun dimulai.
4. Tri Komando Rakyat
a. Tri Komando Rakyat
Dalam pidatonya ”Membangun Dunia Kembali” di forum PBB tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno berujar, ”......Kami telah mengadakan perundingan-perundingan bilateral......harapan lenyap, kesadaran hilang, bahkan toleransi pu n mencapai batasnya. Semuanya itu telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Tindakan konfrontasi politik dan ekonomi yang dilancarkan Indonesia ternyata belum mampu memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Pada bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua, bahkan dalam Sidang umum PBB September 1961, Belanda mengumumkan berdirinya Negara Papua. Untuk mempertegas keberadaan Negara Papua, Belanda mendatangkan kapal induk ”Karel Doorman” ke Irian Barat.
Terdesak oleh persiapan perang Indonesia itu, Belanda dalam sidang Majelis Umum PBB XVI tahun 1961 mengajukan usulan dekolonisasi di Irian Barat, yang dikenal dengan ”Rencana Luns”.
menanggapi rencana licik Belanda tersebut, pada tanggal 19 Desember 1961 bertempat di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA dalam rapat raksasa di alun alun utara Yogyakarta, yang isinya :
1. Gagalkan berdirinya negara Boneka Papua bentukan Belanda
2. Kibarkan sang Merah Putih di irtian Jaya tanah air Indonesia
3. Bersiap melaksanakan mobilisasi umum
b. Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
Sebagai langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan suatu komando operasi, yang diberi nama ”Komando Mandala Pembebasan Irian Barat”. Sebagai panglima komando adalah Brigjend. Soeharto yang kermudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Panglima Komando : Mayjend. Soeharto
Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf Gabungan : Kolonel Ahmad Tahir
Komando Mandala yang bermarkas di Makasar ini mempunyai dua tujuan :
1. merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan operasi militer untuk mengembalikan Irian barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia
2. mengembangkan situasi militer di wilayah Irian barat sesuai dengan perkembangan perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu singkat diciptakan daerah daerah bebas de facto atau unsur pemerintah RI di wilayah Irian Barat
Dalam upaya melaksanakan tujuan tersebut, Komando Mandala membuat strategi dengan membagi operasi pembebasan Irian Barat menjadi tiga fase, yaitu :
1. Fase infiltrasi
Dimulai pada awal Januari tahun 1962 sampai dengan akhir tahun 1962, dengan memasukkan 10 kompi ke sekitar sasaaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto.
2. Fase Eksploitasi
Dimulai pada awal Januari 1964 sampai dengan akhir tahun 1963, dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan, menduduki semua pos pertahanan musuh yang penting.
3. Fase Konsolidasi
Dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 1964, dengan menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.


Sebelum Komando mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor Boat Torpedo (MTB) telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Namun kedatangan pasukan ini diketahui oleh Belanda, sehingga pecah pertempuran di Laut Arafura. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat ini, MTB Macan Tutul berhasil ditenggelamkan oleh Belanda dan mengakibatkan gugurnya komandan MTB Macan Tutul Yoshafat Sudarso (Pahlawan Trikora)
Sementara itu Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di Irian Barat. Dukungan Uni Soviet ( PM. Nikita Kruschev ) kepada perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak Sekutu (NATO) pimpinan Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila Uni Soviet telah terlibat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan sangat membahayakan posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah Pasifik Barat Daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan Belanda maka Amerika akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda akan di cap sebagai negara pendukung penjajah dan Indonesia akan jatuh dalam pengaruh Uni Soviet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjend PBB U Than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Elsworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda.
Sesuai dengan tugas dari Sekjend PBB ( U Than ), Elsworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini, dan mengajukan usulan yang dikenal dengan ”Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal Bunker tersebut adalah sebagai berikut :
”Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun”
Usulan ini menimbulkan reaksi :
1. Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
2. Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
c. Operasi Jaya Wijaya
Pelaksanaan Operasi
1. Maret - Agustus 1962 dilancarkan operasi pendaratan melalui laut dan udara
2. Rencana serangan terbuka untuk merebut Irian Barat sebagai suatu operasi penentuan, yang diberi nama Operasi Jaya wijaya”. Pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
a. Angkatan Laut Mandala dipimpin oleh Kolonel Soedomo membentuk tugas amphibi 17, terdiri dari 7 gugus tugas
b. Angkatan Udara Mandala membentuk enam kesatuan tempur baru.
Sementara itu sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, diadakan perundingan di Markas Besar PBB pada tanggal 15 Agustus 1962, yang menghasilkan suatu resolusi penghentian tembak menembak pada tanggal 18 Agustus 1962.
5. Persetujuan New York [ New York Agreement ]
Setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement.
Isi Pokok persetujuan :
1. Paling lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat..
2. Pada tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.
3. Pemulangan anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963
4. Selambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB
5. Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya ( sekarang Papua )
6. Arti penting Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
Sebagai salah satu kewajiban pemerintah Republik Indonesia menurut persetujuan New York, adalah pemerintah RI harus mengadakan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat paling lambat akhir tahun 1969. pepera ini untuk menentukan apakah rakyat Irian Barat memilih, ikut RI atau merdeka sendiri. Penentuan pendapat Rakyat akhirnya dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 Agustus 1969.Mereka diberi dua opsi, yaitu : bergabung dengan RI atau merdeka sendiri.
Setelah Pepera dilaksanakan, Dewan Musyawarah Pepera mengumumkan bahwa rakyat Irian dengan suara bulat memutuskan Irian Jaya tetap merupakan bagian dari Republik Indoenesia. Hasil ini dibawa Duta Besar Ortiz Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB ke 24 bulan Nopember 1969. Sejak saat itu secara de yure Irian Jaya sah menjadi milik RI.

Dengan menganalisa fakta-fakta pembebasan Irian Barat sampai kemudian dilaksanakan Pepera, dapat diambil kesimpulan bahwa Pepera mempunyai arti yang sangat penting bagi pemerintah Indonesia, yaitu :
1. bukti bahwa pemerintah Indonesia dengan merebut Irian Barat melalui konfrontasi bukan merupakan sebuah tindakan aneksasi / penjajahan kepada bangsa lain, karena secara sah dipandang dari segi de facto dan de jure Irian Barat merupakan bagian dari wilayah RI
2. upaya keras pemerintah Ri merebut kembali Irian Barat bukan merupakan tindakan sepihak, tetapi juga mendapat dukungan dari masyarakat Irian Barat. Terbukti hasil Pepera menyatakan rakyat Irian ingin bergabung dengan Republik Indonesia.